Para ulama bijak bestari menyatakan, "Matsalul imani mitslu baldatin khamsatun minal husuni." yang artinya Iman itu ibarat sebuah wilayah yang dikelilingi benteng lima lapis. Lapisan utama terbuat dari emas, kedua dari perak, ketiga dari perunggu, keempat dari besi dan lapisan terluar dari tembok.
Pemilik
wilayah selalu berusaha memelihara benteng sebaik-baiknya agar tidak
ditembus musuh. Setiap lapis benteng benar-benar difungsikan sehingga
tidak satu pun celah terbuka, yang akan membawa akibat buruk terhadap
keutuhan wilayah keseluruhan.
Dari ibarat tersebut, dapat diperinci, Benteng paling utama adalah iman, akidah, keyakinan. Benteng kedua, keikhlasan. Benteng ketiga, pelaksanaan ibadah wajib. Benteng keempat, pelaksanaan ibadah sunah. Benteng kelima yang ada di bagian paling luar adalah akhlak, sopan santun, etika, dan norma.
Selama orang beriman memiliki akhlak
mulia, menjaga etika, menerapkan sopan santun dalam pergaulan sosial,
memelihara norma yang berlaku di tengah khalayak sehingga setan sebagai
makhluk perusak iman, tidak akan berdaya.
Selama orang beriman mampu bersikap sopan santun, berbudi luhur, memiliki rasa malu, kemudian mampu melaksanakan rangkaian ibadah sunah, dan sudah tentu tak pernah lalai melaksanakan ibadah wajib, kondisi benteng akan semakin kuat dan kokoh. Iman semakin aman terlindungi dari segala gangguan, kesesatan, dan kelemahan.
Namun, apabila lapisan terluar, dalam hal ini akhlak, mengalami degradasi dan dekadensi, akan merambat kepada benteng-benteng lain. Amal-amalan sunah berangsur lenyap. Bahkan, amalan wajib pun mulai lepas satu per satu. Keikhlasan akan tergantikan pamrih. Iman pun mulai terkena virus berbahaya, baik yang bersifat vertikal, hubungan dengan Allah SWT. (hablum minallah), maupun yang bersifat horisontal, hubungan dengan sesama manusia (hablum minannas), segera berantakan. Tinggal puing-puing tak berarti.
Akhlak hancur, amal-amalan sunah lenyap, amal-amalan wajib tersendat, maka keikhlasan
sirna tanpa bekas. Yang ada hanya formalitas. Bersamaan dengan itu,
habislah bangunan benteng karena semua berujung pada rusaknya keyakinan.
Rusaknya akidah.
Iman itu tumbuh dari takwa. Menjalankan segala perintah Allah SWT., sekaligus menjauhi segala larangan-Nya. Sementara takwa itu terletak di dalam hati (kalbu). Sebagaimana dinyatakan Rasulullah SAW. ketika ditanya para sahabat mengenai letak takwa. Jawab beliau sambil menunjuk dada, "Attaqwa hahuna. / Takwa itu di sini." Rasulullah SAW. juga menjelaskan, betapa penting peranan hati dalam meluruskan aktivitas anggota badan,
"Ketahuilah,
sesungguhnya pada tubuh itu, terdapat segumpal daging. Jika daging itu
baik, akan baiklah seluruh tubuh, dan apabila daging itu rusak, rusaklah
seluruh tubuh. Yang dimaksud daging itu adalah hati."
Tugas hati yang menjadi "wadah" iman
dalam tubuh setiap manusia amat berat. Karena setiap saat selalu
diganggu dan kemungkinan diserang telak oleh musuh yang amat tangguh,
tak kenal lelah, tak kenal kalah, tak kenal menyerah, yaitu nafsu dan setan. Kejahatan kedua jenis makhluk, musuh bebuyutan manusia beriman, perusak ketakwaan, dijelaskan dalam banyak ayat Al-Qur'an dan sabda Rasulullah SAW., antara lain,
إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي
inna alnnafsa laammaratun bialssooi illa ma rahima rabbee
karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. (QS. Yusuf: 53)
وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَن فِيهِنَّ
Walawi ittabaAAa alhaqqu ahwaahum lafasadati alssamawatu waalardu waman feehinna
Seandainya kebenaran itu mengikuti hawa nafsu mereka, tentu binasalah langit dan bumi serta segala isinya. (QS. Al-Mu'minun: 71)
أَن يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا
alshshaytanu an yudillahum dalalan baAAeedan
...dan setan bermaksud menyesatkan mereka dengan penyesatan sejauh-jauhnya. (QS. An-Nisa : 60)
إِنَّ الشَّيْطَانَ لِلْإِنسَانِ عَدُوٌّ مُّبِينٌ
inna alshshaytana lilinsani AAaduwwun mubeenun
...Sesungguhnya setan itu musuh nyata bagi manusia. (QS. Yusuf: 5)
Perang melawan nafsu merupakan jihad terberat dibandingkan dengan perang. Menurut beberapa riwayat, seusai Perang Badar (2 Hijriah), Rasulullah SAW. menyatakan, "Kita pulang dari jihad kecil, menuju jihad besar." Para sahabat bertanya, "Apakah yang dimaksud jihad besar itu, ya Rasulullah?" Jawab Rasulullah, "Jihad melawan nafsu."
Kalangan ulama salafus salihin mengungkapkan, perbuatan baik manusia yang membawa ke keimanan dan ketakwaan terdiri dari banyak jenis, di antaranya pemurah, menahan marah, dan mengakui kesalahan diri sendiri untuk bertaubat.
Nafsu dan setan selalu menyeret manusia agar menjauhi sifat pemurah agar menjadi orang kikir dan bakhil
dengan memperbesar kecintaan terhadap harta. Padahal, orang yang
pemurah, yang terjaga dari kekikiran, merupakan orang-orang beruntung.
وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
waman yooqa shuhha nafsihi faolaika humu almuflihoona
Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung. (QS. Al-Hasyr: 9)
Nafsu dan setan selalu berupaya menjerumuskan manusia ke dalam amarah sehingga menjadi lemah tak berdaya dalam pelukan nafsu dan setan. Nafsu dan setan selalu mendorong manusia untuk selalu merasa benar, tidak mau mengaku salah, apalagi bertaubat dari segala kesalahannya itu. Sabda Rasulullah SAW.,
"Sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertaubat dari kesalahannya." (HR. Imam Turmudzi)