Abstract
Politeness in using Javanese language is something very important in Javanese speech community. In the era of globalization, politeness in using Javanese language among the young generation has changed because of the influence of the other language and cultures. For the reason, there should be some alternatives of the application of politeness in using Javanese language.
Key-words: Speech Community, Globalisation, Young Generation, Politeness.
1. PENDAHULUAN
Sopan santun merupakan hal yang sangat penting bagi masyarakat Jawa, termasuk generasi mudanya. Berhubung peran pentingnya maka sopan santun dapat digolongkan sebagai nilai Kejawen, di samping nilai Kejawen yang lain misalnya “Rukun”. Hal tersebut dapat dikatakan pula bahwa sopan santun mendapat tempat yang utama dalam kehidupan bermasyarakat, tentunya bagi mereka yang mengutamakan kebaikan, kerukunan dan sejenisnya.
Dalam segala bidang kehidupan masyarakat, sopan santun kita temukan bentuknya. Oleh karena itu, sopan santun sangatlah luas jangkauannya seluas bidang kehidupan yang dihadapi dan berhadapan dengan masyarakatnya. ‘Dihadapi’ dan ‘berhadapan’ secara mental maupun secara faktual (rohani/jasmani). Secara mental dapat berupa gagasan, penemuan, ide, niat dan sebagainya. Secara faktual dapat berupa peristiwa kehidupan nyata sehari-hari yang tentu saja tidak lepas dari masalah sopan santun.
Dalam segala lapisan masyarakat, tua-muda, kaya-miskin, terpelajar-tidak terpelajar dapat ditemukan suatu bentuk sopan santun. Di samping itu, dari segala jaman dapat pula ditemukan bentuk-bentuk sopan santun. Sopan santun selalu bersama dengan lapisan masyarakat dan jamannya.
Betapa luas jangkauan pembicaraan sopan santun, apabila kesemuanya dibicarakan. Dalam kesempatan ini, terutama akan dikhususkan pada pembicaraan mengenai sopan santun dari segi bahasa. Namun apabila pembicaraan menyinggung hal-hal di luar bahasa, hanyalah suatu cara untuk memperjelas uraian. Hal ini berhubungan dengan kenyataan adanya factor bahasa dan factor di luar bahasa ada kaitannya. Keduanya dapat dipilah-pilahkan akan tetapi tidak dapat dipisah-pisahkan.
Sehubungan dengan topik pembicaraannya, maka berikut ini akan dibicarakan (1) pengertian sopan santun berbahasa Jawa, (2) generasi muda antara harapan dan kenyataan, (3) era globalisasi dan sopan santun berbahasa Jawa generasi muda dan (4) catatan penutup.
2. PENGERTIAN SOPAN SANTUN
Secara etimologis sopan santun berasal dari dua buah kata, yaitu kata sopan dan santun. Keduanya telah bergabung menjadi sebuah kata majemuk. Di dalam Baoesastra Djawa (1939) dijelaskan sebagai berikut.
1) Sopan : weruh ing tatakrama (halaman 579).
‘mengetahui tatakrama’
2) Santun: salin (halaman 543)
‘berganti’
Berdasarkan pengertian di atas, sopan santun dapat mencerminkan dua hal, yaitu mengetahui tatakrama dan berganti tatakrama. Mengetahui sebagai cerminan kognitif (pengetahuan), sedangkan berganti cerminan psikhomotorik (penerapan suatu pengetahuan ke dalam suatu tindakan).
Sehubungan dengan sopan santun berbahasa, ada dua faktor yang tidak dapat dipisahkan, yaitu patrap ‘tindakan’ dan pangucap ‘ucapan’. Patrap dalam tindak tutur dapat berupa anggukan kepala, lirikan mata, gerakan mulut, lambaian tangan dan sebagainya. Pangucap merupakan bentuk kebahasaan yang diucapkan oleh penuturnya. Dalam bahasa Jawa bentuk kebahasaan itu tercermin dalam unggah-ungguhing basa / undha-usuk atau speech levels.
Sopan santun berbahasa Jawa oleh Suwadji (1985: 14-15) menyatakan sebagai berikut.
1) Ajaran sopan santun berbahasa Jawa merupakan salah satu warisan budaya Jawa yang masih hidup dan bertahan sampai sekarang.
2) Sopan santun berbahasa merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Jawa.
3) Sopan santun berbahasa Jawa mengajarkan supaya penutur menghormati lawan tuturnya.
4) Sopan santun berbahasa Jawa lebih menjamin kelancaran komunikasi dalam masyarakat tutur Jawa.
Keempat pernyataan tersebut menunjukkan adanya hakikat dan fungsi sopan santun berbahasa dalam masyarakat tutur Jawa. Hakikat dan fungsi menunjukkan adanya suatu prinsip kesopansantunan (politeness principle).
Prinsip kesopansantunan (kesopanan) menurut Leech (1993: 206-207) ada 6 maksim. Keenam maksim dan submaksim-submaksimnya adalah sebagai berikut.
1) Maksim kearifan/kebijaksanaan
(1) Minimalkan kerugian terhadap orang lain, atau
(2) Maksimalkan keuntungan terhadap orang lain
2) Maksim kedermawanan/kemurahan
(1) Minimalkan keuntungan terhadap diri sendiri, atau
(2) Maksimalkan kerugian terhadap diri sendiri
3) Maksim pujian
(1) Maksimalkan ketidakhormatan terhadap diri sendiri, atau
(2) Maksimalkan rasa hormat terhadap diri sendiri
4) Maksim kesepakatan
(1) Maksimalkan kesepakatan antara diri sendiri dengan orang lain, atau
(2) Minimalkan ketidaksepakatan antara diri sendiri dengan orang lain
5) Maksim kerendahan hati
(1) Maksimalkan ketidakhormatan terhadap diri sendiri, atau
(2) Minimalkan rasa hormat terhadap diri sendiri
6) Maksim simpati
(1) Maksimalkan rasa simpati antara diri sendiri dengan orang lain, atau
(2) Minimalkan rasa antipati antara diri sendiri dengan orang lain.
Sehubungan dengan prinsip kesopanan tersebut dalam bahasa Jawa dikenal adanya istilah atau ungkapan-ungkapan yang dapat dipandang sebagai ajaran sopan santun, yaitu sebagai berikut.
1) Pamicara puniku weh resepe ingkang miyarsi (KGPAA. Mangkunegara IV dalam Serat Nayakawara)
‘Pembicara itu memberikan rasa nyaman bagi yang mendengarkan’.
2) Tatakrama punika, ngedohken panyendhu (KGPAA. Mangkunegara IV dalam Serat Nayakawara)
‘Sopan santun itu dapat menjauhkan kemarahan’.
3) Amemangun karyenak tyasing sasama (KGPAA Mangkunegara IV dalam Serat Wedhatama)
‘Berusaha membuat nyaman hati sesama’.
4) Andhap asor atau Anor Raga ‘Merendahkan diri’.
5) Empan papan ‘Menyesuaikan tempat’.
6) Undha-usuk atau Unggah-ungguhing basa ‘Tingkat tutur’.
Hal yang khusus ditemukan dalam bahasa Jawa yaitu undha-usuk ‘Tingkat tutur’. Geerzt (1981) dalam Abangan Santri Priyayi dalam Masyarakat Jawa menyatakan bahwa undha-usuk mencerminkan perbedaan sopan santun berbahasa. Yang pada pokoknya dinyatakan sebagai berikut.
1) Tingkat tutur ngoko mengatakan rasa sopan santun yang rendah (low honorifics).
2) Tingkat tutur madya mengatakan sopan santun yang sedang (middle honorifics).
3) Tingkat tutur krama mengatakan sopan santun yang tingi (high honorifics).
Pernyataan tersebut haruslah tidak dipandang dari segi kebahasaan saja, namun juga harus dilihat segi-segi nonkebahasaan yang menyertainya. Hal ini berdasarkan pendapat bahwa dalam berbahasa ada dua faktor yang menentukan yaitu faktor lingual dan faktor nonlingual. Keduanya sangat berkaitan dan dapat menentukan tingkat kesopansantunan seseorang.
3 GENERASI MUDA ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN
Masa depan bangsa dan negara menjadi tanggung jawab generasi muda, remaja dan pemuda (termasuk juga pemudi). Jika mereka berkembang dengan peningkatan kualitas yang semakin membaik besar harapan kebaikan dan kebahagiaan kehidupan bangsa dapat diharapkan. Namuh jika terjadi sebaliknya, maka keadaan saling menuding dan menyalahkan tidak dapat dihindarkan sedang permasalahannya semakin nyata dan semakin parah (Hasan Basri, 1995: 3).
Pernyataan tersebut mengisyaratkan ada dua pernyataan yang menyangkut generasi muda. Pernyataan yang pertama, yaitu adanya harapan yang positif bagi generasi muda, seperti pemuda harapan bangsa, pemuda pemimpin masa depan, pemuda generasi penerus bangsa, dan sebagian harapan positif ini dapat terwujud apabila generasi muda memiliki kualitas. Pernyataan kedua, merupakan kebalikan dari pernyataan pertama, yaitu adanya permasalahan generasi muda yang tidak menyadari atau tidak mengerti mengenai peran pentingnya. Keadaan generasi muda yang demikian yaitu adanya generasi muda yang terlibat pada kenakalan, seperti kenakalan remaja, atau kenakalan pemuda.
Bagi generasi muda yang berkualitas dapat diharapkan dapat mengemban fungsinya. Akan tetapi bagi generasi muda yang terlibat pada kenakalan remaja fungsi yang mulia sulit untuk dimengerti. Dua klasifikasi generasi muda yang demikian itu, dapat tercermin dalam wujud kebahasaannya. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan didapatkannya, sementara pemuda yang tampaknya lemah lembut menunjukkan sopan santun namun pada hakekatnya hanya untuk menutupi kenakalannya. Hal semacam ini dalam bahasa Jawa dikenal adanya istilah apus krama “menipu secara halus”.
Bagi generasi muda yang dapat diharapkan secara positif untuk kemajuan bangsa, peranan sopan santun, termasuk sopan santun berbahasa, mendapat tempat yang utama. Generasi muda yang mengutamakan sopan santun dapat dijadikan motivator dan dinamisator lingkungannya. Hal yang demikian menunjukkan akan pentingnya bagi pembinaan generasi muda. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam Serat Wulang Reh Yasan Dalem Sri Susuhunan Pakoeboewana IV disebutkan sebagai berikut:
Tembang Kinanthi
1) Yen wong anom pan wus tamtu,
manut marang kang ngadhepi
yen kang ngadhep keh durjana,
tan wurung bisa anjuti,
yen kang ngadhep akeh bangsat,
nora wurung dadi maling
2) Sanadyan nora amelu,
pasti wruh lakuning maling,
kaya mangkono sabarang,
panggawe ala puniki,
sok weruhagelis bisa
yeku panuntuning iblis.
Terjemahan
1) Orang muda memang sudah tentu,
menurut yang dihadapi,
bila yang menghadapi banyak penjahat,
tidak urung (tentu) bisa berjudi,
bila yang menghadapi bangsat,
tidak urung menjadi pencuri.
2) Walaupun tidak mengikuti,
pasti tahu perilaku pencuri,
seperti itulah sesuatu,
perbuatan jelek itu,
pernah tahu cepat bisa,
yaitu penuntun iblis.
Berdasarkan isi tembang tersebut jelaslah bahwa lingkungan memegang peranan penting dalam pembentukan pribadi pemuda. Lingkungan yang tidak baik dapat mempengaruhi diri pemuda. Pengaruh yang buruk lebih mudah tertanam apabila dibandingkan dengan pengaruh yang baik. Generasi muda yang demikian sulit untuk menerima prinsip-prinsip sopan santun berbahasa yang telah dijelaskan pada sub pembahasan nomor 2. Hal semacam ini akan lebih kompleks lagi masalahnya kalau dikaitkan dengan era globalisasi pada masa sekarang ini.
4. ERA GLOBALISASI DAN SOPAN SANTUN BERBAHASA JAWA GENERASI MUDA
Dalam rubrik Ature Redaksi yang dimuat dalam Jaya Baya nomor 10 tanggal 5 November 1995 dinyatakas sebagai berikut.
“Taun gilir gumantine abad wis saya cedhak, mung kari 4 tahunan. Ing abad 21 mengko, manut grambyangan kita bakal ngadhepi tantangan kang luwih hebat. Jalaran kang disebut globalisasi saya.... dadi. Pasar bebas saya bablas. Ing jaman mau sapa kang siap lan kuwat, bakal ngrasakake urip nikmat, ora perduli karo kiwa tengen kang padha urip megap-megap kesrakat. Mula, taun iki sarta taun kang bakal teka, ora keladuk yen ana kang duwe panganggep mujudake taun kang banget strategis kanggo wiwit tali-tali ngadhepi abad kang kebak tantangan kang ora entheng mau”.
Dalam kutipan tersebut digambarkan mengenai era globalisasi, yang dalam salah satu sisinya ada segi-segi yang negatif. Hal ini tercermin dalam pernyataan: ora perduli karo kiwa tengen ‘tidak peduli dengan lingkungan’. Di samping itu, juga dinyatakan bahwa era globalisasi merupakan tantangan yang berat. Untuk menangkal pengaruh negatif dari era globalisasi dapat ditempuh adanya satu usaha pendidikan yaitu pendidikan budi pekerti. Dalam pendidikan budi pekerti ini satu unsurnya adalah pendidikan sopan santun berbahasa.
Dalam era globalisasi yang ditandai adanya transportasi dan kecanggihan informasi dapat berpengaruh dalam sistem kebahasaan, dalam hal ini bahasa Jawa. Dalam bahasa Jawa didapatkan adanya istilah interferensi dari bahasa lain menunjukkan adanya pengaruh yang dimaksud. Adanya interferensi dari bahasa lain ke dalam bahasa Jawa, dapat mengganggu kelancaran komunikasi. Hal semacam ini dapat mengakibatkan adanya bentuk bahasa Jawa yang tidak memenuhi prinsip bahasa yang baik dan benar (basa ingkang laras saha leres).
Jelaslah, bahwa dalam era globalisasi kita termasuk generasi muda, diharapkan pada banyak pilihan. Pilihan dari segala aspek kehidupan, dan yang menjadi pokok pembicaraan, tentunya pada pilihan kebahasaan. Tiap-tiap bahasa menawarkan atau memiliki prinsip sopan santun yang berbeda. Oleh karena itu, generasi muda harus memiliki kemampuan untuk memilah kemudian memilih. Memilah dalam arti berhadapan dengan banyak alternatif, sedangkan memilih dalam arti dapat menentukan alternatif yang dapat digunakan yang mendasari tindakan.
Sehubungan dengan masalah memilah dan memilih ini kiranya diperlukan adanya acuan. Acuan yang dimaksud salah satunya dari segi kebahasaan, yaitu sopan santun berbahasa Jawa yang dapat menandai jati diri suatu bangsa. Oleh karena itulah, maka prinsi-prinsip kesopansantunan dalam berbahasa, khususnya bahasa Jawa, memiliki peran penting dalam membentuk pribadi generasi muda (generasi muda Jawa). Dalam era globalisasi, pemanfaatan nilai tradisi yang agung masih memiliki relevansi.
5. SIMPULAN
Apa yang telah disajikan merupakan pokok-pokok pikiran, yang tentu saja dalam bentuk garis besar. Pokok-pokok pikiran itu masih perlu dikembangkan dan ditelaah secara mendalam agar dapat ditemukan manfaatnya.
Sebagai bagian akhir pembicaraan, penulis tampilkan tembang Kinanthi dari Serat Wulang Reh. Tembang tadi merupakan wasiat dari leluhur kita, yang dapat dijadikan bahan renungan yang dapat berbentuk introspeksi, retrospeksi, dan komparasi. Pada akhirnya dapat diharapkan menghasilkan konklusi mengenai sopan santun, termasuk berbahasa Jawa, yang dapat diterapkan dalam era globalisasi yang serba canggih ini. Adapun kutipan tembangnya adalah sebagai berikut.
1) Panggawe becik puniku,
gampang yen wus dilakoni,
angel yen durung linakwan,
aras-arasen nglakoni,
tur iku den lakonana,
munfa’ati badanneki.
2) Mulane wong anom iku,
abecik ingkang taberi,
jejagongan lan wong tuwa,
ingkang sugih kojah ugi,
kojah iku warna-warni,
ana ala ana becik.
3) Ingkang becik kojahipun,
sira anggowa kang remit,
ingkang ala singgahana,
aja niyat anglakoni,
lan den awas wong kang kojah,
ing lair masa puniki.
Terjemahan
1) Perbuatan baik itu,
mudah apabila sudah dilakukan,
sukar apabila belum dilakukan,
enggan melakukan,
lagipula itu harap dilaksanakan,
bermanfaat (terhadap) badan ini.
2) Maka orang muda itu,
sebaiknya yang rajin,
bertandang (berbicara) dengan orang tua,
yang kaya pembicaraan,
pembicaraan itu bermacam-macam,
ada yang buruk ada yang baik.
3) Yang baik pembicaraannya,
kau pakai yang hati-hati/teliti,
yang buruk kau simpan saja,
jangan berniat menjalankan,
dan waspadailah orang yang berbicara,
yang terungkap masa kini.
Demikianlah kutipan tembang Kinanthi yang dapat penulis sajikan. Dengan harapan pembaca, generasi muda, dapat memetik sari ajaran dari leluhur pendahulu kita. Akhirnya, penulis menyadari bahwa tulisan ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu, saran dari pembaca akan dipertimbangkan sebaik-baiknya.
DAFTAR PUSTAKA
Politeness in using Javanese language is something very important in Javanese speech community. In the era of globalization, politeness in using Javanese language among the young generation has changed because of the influence of the other language and cultures. For the reason, there should be some alternatives of the application of politeness in using Javanese language.
Key-words: Speech Community, Globalisation, Young Generation, Politeness.
1. PENDAHULUAN
Sopan santun merupakan hal yang sangat penting bagi masyarakat Jawa, termasuk generasi mudanya. Berhubung peran pentingnya maka sopan santun dapat digolongkan sebagai nilai Kejawen, di samping nilai Kejawen yang lain misalnya “Rukun”. Hal tersebut dapat dikatakan pula bahwa sopan santun mendapat tempat yang utama dalam kehidupan bermasyarakat, tentunya bagi mereka yang mengutamakan kebaikan, kerukunan dan sejenisnya.
Dalam segala bidang kehidupan masyarakat, sopan santun kita temukan bentuknya. Oleh karena itu, sopan santun sangatlah luas jangkauannya seluas bidang kehidupan yang dihadapi dan berhadapan dengan masyarakatnya. ‘Dihadapi’ dan ‘berhadapan’ secara mental maupun secara faktual (rohani/jasmani). Secara mental dapat berupa gagasan, penemuan, ide, niat dan sebagainya. Secara faktual dapat berupa peristiwa kehidupan nyata sehari-hari yang tentu saja tidak lepas dari masalah sopan santun.
Dalam segala lapisan masyarakat, tua-muda, kaya-miskin, terpelajar-tidak terpelajar dapat ditemukan suatu bentuk sopan santun. Di samping itu, dari segala jaman dapat pula ditemukan bentuk-bentuk sopan santun. Sopan santun selalu bersama dengan lapisan masyarakat dan jamannya.
Betapa luas jangkauan pembicaraan sopan santun, apabila kesemuanya dibicarakan. Dalam kesempatan ini, terutama akan dikhususkan pada pembicaraan mengenai sopan santun dari segi bahasa. Namun apabila pembicaraan menyinggung hal-hal di luar bahasa, hanyalah suatu cara untuk memperjelas uraian. Hal ini berhubungan dengan kenyataan adanya factor bahasa dan factor di luar bahasa ada kaitannya. Keduanya dapat dipilah-pilahkan akan tetapi tidak dapat dipisah-pisahkan.
Sehubungan dengan topik pembicaraannya, maka berikut ini akan dibicarakan (1) pengertian sopan santun berbahasa Jawa, (2) generasi muda antara harapan dan kenyataan, (3) era globalisasi dan sopan santun berbahasa Jawa generasi muda dan (4) catatan penutup.
2. PENGERTIAN SOPAN SANTUN
Secara etimologis sopan santun berasal dari dua buah kata, yaitu kata sopan dan santun. Keduanya telah bergabung menjadi sebuah kata majemuk. Di dalam Baoesastra Djawa (1939) dijelaskan sebagai berikut.
1) Sopan : weruh ing tatakrama (halaman 579).
‘mengetahui tatakrama’
2) Santun: salin (halaman 543)
‘berganti’
Berdasarkan pengertian di atas, sopan santun dapat mencerminkan dua hal, yaitu mengetahui tatakrama dan berganti tatakrama. Mengetahui sebagai cerminan kognitif (pengetahuan), sedangkan berganti cerminan psikhomotorik (penerapan suatu pengetahuan ke dalam suatu tindakan).
Sehubungan dengan sopan santun berbahasa, ada dua faktor yang tidak dapat dipisahkan, yaitu patrap ‘tindakan’ dan pangucap ‘ucapan’. Patrap dalam tindak tutur dapat berupa anggukan kepala, lirikan mata, gerakan mulut, lambaian tangan dan sebagainya. Pangucap merupakan bentuk kebahasaan yang diucapkan oleh penuturnya. Dalam bahasa Jawa bentuk kebahasaan itu tercermin dalam unggah-ungguhing basa / undha-usuk atau speech levels.
Sopan santun berbahasa Jawa oleh Suwadji (1985: 14-15) menyatakan sebagai berikut.
1) Ajaran sopan santun berbahasa Jawa merupakan salah satu warisan budaya Jawa yang masih hidup dan bertahan sampai sekarang.
2) Sopan santun berbahasa merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Jawa.
3) Sopan santun berbahasa Jawa mengajarkan supaya penutur menghormati lawan tuturnya.
4) Sopan santun berbahasa Jawa lebih menjamin kelancaran komunikasi dalam masyarakat tutur Jawa.
Keempat pernyataan tersebut menunjukkan adanya hakikat dan fungsi sopan santun berbahasa dalam masyarakat tutur Jawa. Hakikat dan fungsi menunjukkan adanya suatu prinsip kesopansantunan (politeness principle).
Prinsip kesopansantunan (kesopanan) menurut Leech (1993: 206-207) ada 6 maksim. Keenam maksim dan submaksim-submaksimnya adalah sebagai berikut.
1) Maksim kearifan/kebijaksanaan
(1) Minimalkan kerugian terhadap orang lain, atau
(2) Maksimalkan keuntungan terhadap orang lain
2) Maksim kedermawanan/kemurahan
(1) Minimalkan keuntungan terhadap diri sendiri, atau
(2) Maksimalkan kerugian terhadap diri sendiri
3) Maksim pujian
(1) Maksimalkan ketidakhormatan terhadap diri sendiri, atau
(2) Maksimalkan rasa hormat terhadap diri sendiri
4) Maksim kesepakatan
(1) Maksimalkan kesepakatan antara diri sendiri dengan orang lain, atau
(2) Minimalkan ketidaksepakatan antara diri sendiri dengan orang lain
5) Maksim kerendahan hati
(1) Maksimalkan ketidakhormatan terhadap diri sendiri, atau
(2) Minimalkan rasa hormat terhadap diri sendiri
6) Maksim simpati
(1) Maksimalkan rasa simpati antara diri sendiri dengan orang lain, atau
(2) Minimalkan rasa antipati antara diri sendiri dengan orang lain.
Sehubungan dengan prinsip kesopanan tersebut dalam bahasa Jawa dikenal adanya istilah atau ungkapan-ungkapan yang dapat dipandang sebagai ajaran sopan santun, yaitu sebagai berikut.
1) Pamicara puniku weh resepe ingkang miyarsi (KGPAA. Mangkunegara IV dalam Serat Nayakawara)
‘Pembicara itu memberikan rasa nyaman bagi yang mendengarkan’.
2) Tatakrama punika, ngedohken panyendhu (KGPAA. Mangkunegara IV dalam Serat Nayakawara)
‘Sopan santun itu dapat menjauhkan kemarahan’.
3) Amemangun karyenak tyasing sasama (KGPAA Mangkunegara IV dalam Serat Wedhatama)
‘Berusaha membuat nyaman hati sesama’.
4) Andhap asor atau Anor Raga ‘Merendahkan diri’.
5) Empan papan ‘Menyesuaikan tempat’.
6) Undha-usuk atau Unggah-ungguhing basa ‘Tingkat tutur’.
Hal yang khusus ditemukan dalam bahasa Jawa yaitu undha-usuk ‘Tingkat tutur’. Geerzt (1981) dalam Abangan Santri Priyayi dalam Masyarakat Jawa menyatakan bahwa undha-usuk mencerminkan perbedaan sopan santun berbahasa. Yang pada pokoknya dinyatakan sebagai berikut.
1) Tingkat tutur ngoko mengatakan rasa sopan santun yang rendah (low honorifics).
2) Tingkat tutur madya mengatakan sopan santun yang sedang (middle honorifics).
3) Tingkat tutur krama mengatakan sopan santun yang tingi (high honorifics).
Pernyataan tersebut haruslah tidak dipandang dari segi kebahasaan saja, namun juga harus dilihat segi-segi nonkebahasaan yang menyertainya. Hal ini berdasarkan pendapat bahwa dalam berbahasa ada dua faktor yang menentukan yaitu faktor lingual dan faktor nonlingual. Keduanya sangat berkaitan dan dapat menentukan tingkat kesopansantunan seseorang.
3 GENERASI MUDA ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN
Masa depan bangsa dan negara menjadi tanggung jawab generasi muda, remaja dan pemuda (termasuk juga pemudi). Jika mereka berkembang dengan peningkatan kualitas yang semakin membaik besar harapan kebaikan dan kebahagiaan kehidupan bangsa dapat diharapkan. Namuh jika terjadi sebaliknya, maka keadaan saling menuding dan menyalahkan tidak dapat dihindarkan sedang permasalahannya semakin nyata dan semakin parah (Hasan Basri, 1995: 3).
Pernyataan tersebut mengisyaratkan ada dua pernyataan yang menyangkut generasi muda. Pernyataan yang pertama, yaitu adanya harapan yang positif bagi generasi muda, seperti pemuda harapan bangsa, pemuda pemimpin masa depan, pemuda generasi penerus bangsa, dan sebagian harapan positif ini dapat terwujud apabila generasi muda memiliki kualitas. Pernyataan kedua, merupakan kebalikan dari pernyataan pertama, yaitu adanya permasalahan generasi muda yang tidak menyadari atau tidak mengerti mengenai peran pentingnya. Keadaan generasi muda yang demikian yaitu adanya generasi muda yang terlibat pada kenakalan, seperti kenakalan remaja, atau kenakalan pemuda.
Bagi generasi muda yang berkualitas dapat diharapkan dapat mengemban fungsinya. Akan tetapi bagi generasi muda yang terlibat pada kenakalan remaja fungsi yang mulia sulit untuk dimengerti. Dua klasifikasi generasi muda yang demikian itu, dapat tercermin dalam wujud kebahasaannya. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan didapatkannya, sementara pemuda yang tampaknya lemah lembut menunjukkan sopan santun namun pada hakekatnya hanya untuk menutupi kenakalannya. Hal semacam ini dalam bahasa Jawa dikenal adanya istilah apus krama “menipu secara halus”.
Bagi generasi muda yang dapat diharapkan secara positif untuk kemajuan bangsa, peranan sopan santun, termasuk sopan santun berbahasa, mendapat tempat yang utama. Generasi muda yang mengutamakan sopan santun dapat dijadikan motivator dan dinamisator lingkungannya. Hal yang demikian menunjukkan akan pentingnya bagi pembinaan generasi muda. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam Serat Wulang Reh Yasan Dalem Sri Susuhunan Pakoeboewana IV disebutkan sebagai berikut:
Tembang Kinanthi
1) Yen wong anom pan wus tamtu,
manut marang kang ngadhepi
yen kang ngadhep keh durjana,
tan wurung bisa anjuti,
yen kang ngadhep akeh bangsat,
nora wurung dadi maling
2) Sanadyan nora amelu,
pasti wruh lakuning maling,
kaya mangkono sabarang,
panggawe ala puniki,
sok weruhagelis bisa
yeku panuntuning iblis.
Terjemahan
1) Orang muda memang sudah tentu,
menurut yang dihadapi,
bila yang menghadapi banyak penjahat,
tidak urung (tentu) bisa berjudi,
bila yang menghadapi bangsat,
tidak urung menjadi pencuri.
2) Walaupun tidak mengikuti,
pasti tahu perilaku pencuri,
seperti itulah sesuatu,
perbuatan jelek itu,
pernah tahu cepat bisa,
yaitu penuntun iblis.
Berdasarkan isi tembang tersebut jelaslah bahwa lingkungan memegang peranan penting dalam pembentukan pribadi pemuda. Lingkungan yang tidak baik dapat mempengaruhi diri pemuda. Pengaruh yang buruk lebih mudah tertanam apabila dibandingkan dengan pengaruh yang baik. Generasi muda yang demikian sulit untuk menerima prinsip-prinsip sopan santun berbahasa yang telah dijelaskan pada sub pembahasan nomor 2. Hal semacam ini akan lebih kompleks lagi masalahnya kalau dikaitkan dengan era globalisasi pada masa sekarang ini.
4. ERA GLOBALISASI DAN SOPAN SANTUN BERBAHASA JAWA GENERASI MUDA
Dalam rubrik Ature Redaksi yang dimuat dalam Jaya Baya nomor 10 tanggal 5 November 1995 dinyatakas sebagai berikut.
“Taun gilir gumantine abad wis saya cedhak, mung kari 4 tahunan. Ing abad 21 mengko, manut grambyangan kita bakal ngadhepi tantangan kang luwih hebat. Jalaran kang disebut globalisasi saya.... dadi. Pasar bebas saya bablas. Ing jaman mau sapa kang siap lan kuwat, bakal ngrasakake urip nikmat, ora perduli karo kiwa tengen kang padha urip megap-megap kesrakat. Mula, taun iki sarta taun kang bakal teka, ora keladuk yen ana kang duwe panganggep mujudake taun kang banget strategis kanggo wiwit tali-tali ngadhepi abad kang kebak tantangan kang ora entheng mau”.
Dalam kutipan tersebut digambarkan mengenai era globalisasi, yang dalam salah satu sisinya ada segi-segi yang negatif. Hal ini tercermin dalam pernyataan: ora perduli karo kiwa tengen ‘tidak peduli dengan lingkungan’. Di samping itu, juga dinyatakan bahwa era globalisasi merupakan tantangan yang berat. Untuk menangkal pengaruh negatif dari era globalisasi dapat ditempuh adanya satu usaha pendidikan yaitu pendidikan budi pekerti. Dalam pendidikan budi pekerti ini satu unsurnya adalah pendidikan sopan santun berbahasa.
Dalam era globalisasi yang ditandai adanya transportasi dan kecanggihan informasi dapat berpengaruh dalam sistem kebahasaan, dalam hal ini bahasa Jawa. Dalam bahasa Jawa didapatkan adanya istilah interferensi dari bahasa lain menunjukkan adanya pengaruh yang dimaksud. Adanya interferensi dari bahasa lain ke dalam bahasa Jawa, dapat mengganggu kelancaran komunikasi. Hal semacam ini dapat mengakibatkan adanya bentuk bahasa Jawa yang tidak memenuhi prinsip bahasa yang baik dan benar (basa ingkang laras saha leres).
Jelaslah, bahwa dalam era globalisasi kita termasuk generasi muda, diharapkan pada banyak pilihan. Pilihan dari segala aspek kehidupan, dan yang menjadi pokok pembicaraan, tentunya pada pilihan kebahasaan. Tiap-tiap bahasa menawarkan atau memiliki prinsip sopan santun yang berbeda. Oleh karena itu, generasi muda harus memiliki kemampuan untuk memilah kemudian memilih. Memilah dalam arti berhadapan dengan banyak alternatif, sedangkan memilih dalam arti dapat menentukan alternatif yang dapat digunakan yang mendasari tindakan.
Sehubungan dengan masalah memilah dan memilih ini kiranya diperlukan adanya acuan. Acuan yang dimaksud salah satunya dari segi kebahasaan, yaitu sopan santun berbahasa Jawa yang dapat menandai jati diri suatu bangsa. Oleh karena itulah, maka prinsi-prinsip kesopansantunan dalam berbahasa, khususnya bahasa Jawa, memiliki peran penting dalam membentuk pribadi generasi muda (generasi muda Jawa). Dalam era globalisasi, pemanfaatan nilai tradisi yang agung masih memiliki relevansi.
5. SIMPULAN
Apa yang telah disajikan merupakan pokok-pokok pikiran, yang tentu saja dalam bentuk garis besar. Pokok-pokok pikiran itu masih perlu dikembangkan dan ditelaah secara mendalam agar dapat ditemukan manfaatnya.
Sebagai bagian akhir pembicaraan, penulis tampilkan tembang Kinanthi dari Serat Wulang Reh. Tembang tadi merupakan wasiat dari leluhur kita, yang dapat dijadikan bahan renungan yang dapat berbentuk introspeksi, retrospeksi, dan komparasi. Pada akhirnya dapat diharapkan menghasilkan konklusi mengenai sopan santun, termasuk berbahasa Jawa, yang dapat diterapkan dalam era globalisasi yang serba canggih ini. Adapun kutipan tembangnya adalah sebagai berikut.
1) Panggawe becik puniku,
gampang yen wus dilakoni,
angel yen durung linakwan,
aras-arasen nglakoni,
tur iku den lakonana,
munfa’ati badanneki.
2) Mulane wong anom iku,
abecik ingkang taberi,
jejagongan lan wong tuwa,
ingkang sugih kojah ugi,
kojah iku warna-warni,
ana ala ana becik.
3) Ingkang becik kojahipun,
sira anggowa kang remit,
ingkang ala singgahana,
aja niyat anglakoni,
lan den awas wong kang kojah,
ing lair masa puniki.
Terjemahan
1) Perbuatan baik itu,
mudah apabila sudah dilakukan,
sukar apabila belum dilakukan,
enggan melakukan,
lagipula itu harap dilaksanakan,
bermanfaat (terhadap) badan ini.
2) Maka orang muda itu,
sebaiknya yang rajin,
bertandang (berbicara) dengan orang tua,
yang kaya pembicaraan,
pembicaraan itu bermacam-macam,
ada yang buruk ada yang baik.
3) Yang baik pembicaraannya,
kau pakai yang hati-hati/teliti,
yang buruk kau simpan saja,
jangan berniat menjalankan,
dan waspadailah orang yang berbicara,
yang terungkap masa kini.
Demikianlah kutipan tembang Kinanthi yang dapat penulis sajikan. Dengan harapan pembaca, generasi muda, dapat memetik sari ajaran dari leluhur pendahulu kita. Akhirnya, penulis menyadari bahwa tulisan ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu, saran dari pembaca akan dipertimbangkan sebaik-baiknya.
DAFTAR PUSTAKA
- Geertz, C. 1981. Abangan Santri Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Terjemahan. Jakarta: Pustaka Jaya.
- Hasan Basri. 1995. Remaja Berkualitas: Problematika Remaja dan Solusinya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
- Leech, G. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik. Terjemahan. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
- Majalah Jaya Baya nomor 10 tanggal 5 November 1995.
- Maryono Dwirahardjo. 1990. “Sopan Santun Masyarakat Jawa.” Pengabdian pada masyarakat di Kecamatan Karanggedhe, 13 November 1990.
- Suwadji, 1985. “Sopan Santun Berbahasa Jawa”. Yogyakarta: Balai Penelitian Bahasa.
- Tanaya, R. tanpa tahun. Wulang Reh. Sala: Penerbit TB. Pelajar.